Sejarah Pendidikan adalah Sejarah Penindasan
Kelas
“
Jangan tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik
masih bisa melahirkan bandit–bandit yang sejahat–jahatnya, yang sama sekali
tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.
“
(
Pramoedya Ananta Toer )
|
|
Jika kita membicarakan dunia
pendidikan, kita pasti teringat akan sosok John Amos Comenius (Jan Komensky,
1592-1670 M), ia adalah seorang uskup Moravian Brethren yang terkenal dengan
bukunya Didactica Magna (Seni
Pengajaran yang Agung). Comenius telah berhasil menjabarkan berbagai prinsip
pendidikan yang dapat digunakan oleh pendidikan di negara kita saat ini yang
tengah dilanda berbagai kemelut pendidikantanpa batas dan multidimensional
sehingga hanya mampu melahirkan pribadi-pribadi yang sama sekali tidak bisa
diharapkan sebagai generasi masa depan bagi peradaban suatu negeri yang kaya,
indah nan elok ini. Lalu apa prinsip-prinsip ideal bagi pendidikan menurut John
Amos Comenius itu? Nah sebelum menyebutkan prinsip-prinsip ideal pendidikan itu,
agaknya jauh lebih baik ketika terlebih dahulu kita mencoba melihat bagaimana
historis pendidikan itu sendiri mulai fase komunal primitive sampai pada fase masyarakat
berkelas (perbudakan, feodalisme dan kapitalisme), terutama sejarah awal mula
munculnya kata sekolah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi lahirnya
sekolah-sekolah modern seperti sekarang ini.
Karl Marx (1818-1883 M) melalui
filsafat materialisme dialektika historisnya menyakini bahwa basis bagi
pendidikan adalah perkembangan ekonomi sebagai basic struktur, yaitubagaimana cara
manusia menghadapi alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan sekaligus mengembangkannya.
Sebagaimana menurut analisis Marx yang mengatakan bahwa fase awal manusia
adalah komunal primitive, di mana pada waktu itu orang-orang primitive masih
menggantungkan hidupnya pada segala sesuatu yang disediakan oleh alam baik
berupa binatang maupun tumbuhan, itu dikarenakan mereka belum mampu melakukan
praktek-praktek produksi secara mandiri, sehingga yang bisa mereka lakukan
hanyalah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain demi mempertahankan
hidup ( corak kehidupan ini dikenal dengan istilah nomaden ). Namun seiring berjalannya waktu terhadapsegala fenomena/kontradiksi
alam yang terjadi dalam berbagai macam kondisinya,mereka menjadikan semua itu
sebagai guru.Orang-orang primitive pada waktu itu belajar dari alam, yaitu dari
pengalaman-pengalaman yang mereka lihat maupun rasakan secara langsung. Sebagai
contoh ketika orang-orang primitive mengetahui bahwa bebatuan tajam dapat
membuat kaki mereka terluka, maka mereka segera mengambil pelajaran dari
pengalaman itu bahwa jika binatang terkena benda tajam, pun binatang tersebut
akan terluka dan bahkan benda tajam dapat membuat binatang itu langsung mati.
Sehingga orang-orang primitive tersebut segera
membuat peralatan berburu baik dari kayu maupun batu yang diruncingkan agar
lebih memudahkan mereka dalam menangkap binatang buruannya. Dengan menjadikan
alam sebagai guru, orang-orang primitive pun mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya
dalam menciptakan alat-alat produksi yang kelak lebih dekenal dengan istilah
IPTEK.Fase “sekolah alam” ini
berlangsung selama berjuta-juta tahun.
“Manusia
memiliki hirarkis kebutuhan dalam hidupnya yang dimulai dari kebutuhan fisik
(ekonomi), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang (cinta),
kebutuhan akan prestasi (prestise) dan kebutuhan untuk aktualisasi diri”
(Abraham
Maslow)
Dialektika sejarah adalah
realitas yang tak ternafikan.Dengan menjadikan pengalaman sebagai pembentuk
pengetahuan baru, maka mulailah orang-orang kuno dapat membuat alat-alat
produksinya sendiri (productive force)
yang kemudian berimplikasi terhadap interaksi/relasi social pada waktu itu.
Jika pada fase komunal primitive alat-alat produksi dimiliki secara kolektif,
orang-orang kuno juga selalu bersama-sama dalam usaha pemenuhan kebutuhan
hidupnya sampai pembagian secara adil atas bahan makanan yang telah mereka
dapatkan, akantetapi kondisinya sangat jauh berbedapada fase peralihan dari
komunal primitive ke perbudakan.Pada fase peralihan itu ketika orang-orang kuno
telah mampu membuat productive forcesendiri
maka mereka mulai memisahkan diri dari komune induk dan membuat gen/klan-klan
yang baru. Terbentuknya gen/klan-klan baru tersebut meniscayakan pengklaiman
akan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan inilah yang merupakan
embrio terbentuknya tatanan masyarakat berkelas di mana terjadi kompetisi
antara klan yang satu dengan klan yang lain. Tidak hanya cukup sampai di situ,
setelah tatanan yang ada melegitimasi kepemilikan pribadi dan semakin
bertambahnya jumlah populasi manusia di samping ketersediaan bahan makananyang semakin
menipis, maka mereka mulai berfikir untuk mengekspansi wilayah lain yang
dinilai memiliki ketersediaan sumber daya alam melimpah, dan inilah awal mula
sejarah penjajahan/kolonialisasi yang selalu dilakukan oleh Negara-negara dunia
pertama penganut system ekonomi Kapitalisme-Neoliberalisme kepada Negara-negara
dunia ketiga.
Pada fase komunal primitive di
mana belum terjadi klaim-klaim kepemilikan pribadi, lembaga pendidikan/sekolah
pada waktu itu belum terbakukan. Akan tetapi pada masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme dan kapitalisme),muncullah
segelintir orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai pemilik otoritas akan
pengetahuan dan alat-alat produksi/teknologi serta tenaga-tenaga produksi(productive forces). Di zaman perbudakan
orang-orang yang dinilai pandai meramalkan alam atau orang-orang yang dinilai
lebih kuat dari yang lain dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan hidup
dan menghadapi segala tantangan alam termasuk dalam menghadapi musuh-musuh dari
klan lain, maka merekadiberikan kepercayaan oleh anggota masyarakatnya untuk
menjadi pemimpin atau menempati kedudukan tertentu dalam
masyarakatnya yangpada akhirnya merekalah yang menguasai segalanya, dan
kekuasaan itu diturunkan dari generasi ke generasi sebagai alat legitimasi
penindasan.
Tindakan monopoli yang
dilakukan oleh segelintir orang atas pengetahuan, alat-alat produksi dan
tenaga-tenaga produksi mengantarkan mereka pada praktek eksploitasi terhadap manusia
yang berada di bawah kekuasaan mereka yang salah satu caranya melalui
pendidikan. Pertama-tama proses pendidikan dijalankan secara ekslusif, elitis
dan tidak demokratis sehingga hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang dari
kalangan elit penguasa, aristokrasi dan kalangan agamawan saja, sedangkan
rakyat jelata tetap berada pada kebodohannya. Kemudian di samping eksklusivitas
pendidikan tersebut, pendidikan juga berperan sebagai alat hegemoni kekuasaan
melalui dogma-dogma irasional kaum agamawan yang bertujuan untuk melanggengkan
tatanan penindasan yang tanpa adanya resistensi dari rakyat tertindas. Realitas
ini dalam sejarah manusia terjadi pada fase feodalisme (monarki absolute)yang sekaligus menandai awal mula munculnnya
istilah sekolah (schola, scholae ; bahasa
latin)yang berarti waktu luang. Jadi pada waktu itu ketika para raja
memiliki waktu luang maka mereka pergunakannya untuk memberikan pengajaran
kepada anak-anaknya yang terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang sangat
dibutuhkan demi kelanggengan kekuasaannya, misalnya pengetahuan tentang seni
berperang/bela diri, administrasi Negara dan kesusastraan.Namun setelah para
raja disibukkan dengan banyaknya tugas-tugas kerajaan di samping aktivitas
pelampiasan libido seksualnya dengan para selir kerajaan, maka mengharuskan
tugas memberikan pengajaran kepada anak-anak mereka dialihkan kepada
orang-orang yang dianggap paling bijakpada waktu itu sampai tiba waktunya Plato
mendirikan academia, Pestalozzi
menerapkan system clasikal Pestalozzy sampai pada John Amos Comenius yang
mengembangkan system clasikal Pestalozzy dalam bentuk yang lebih modern.
System
monarki absolute perlahan-lahan bergerak menuju kehancuran seiring dengan
majunya gerak material sejarah yang melahirkan kekuatan-kekuatan produksi baru.Berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh melalui eksperimentasi dan
bersifat objektif,telah berkontribusiuntuk mempermudah manusia dalammemenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Sehingga fase feodalisme yang identik
dengandogma-dogma irasionalnya tergantikan dengan fase Kapitalisme yang
paradigmanya lebih rasional dan objektif.Sebagai sebuah contoh bagaimana sosok
Copernicus melalui tesisnya yang mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi
matahari (teory Geosentris) dengan
menjadikannya sebagai antitesa atas dogma Ptolomeus yang ratusan tahun telah
membodoh-bodohi rakyat dengan mengatakan bahwa mataharilah yang mengelilingi
bumi (teory Heliosentris) sekalipun
dia harus dihukum mati oleh otoritas gereja yang pada waktu itu ternyata
berkonspirasi dengan kekuasaan raja.
“Peserta didik layaknya sekrup-sekrup
untuk mengencangkan mesin-mesin pabrik yang harus dicetak oleh lembaga
pendidikan”
(Adam Smith)
Pada
fase kapitalisme konteksnya tetap sama dengan fase feodalisme, di mana para
borjuasimelalui pendidikan melakukan pengorganisasian/penanamkan dan
mengembangkan paham rasionalisme dan liberalisme dengan tujuan melahirkan
ilmuwan-ilmuwan dan pemikir-pemikir yang akan berperan untuk menghilangkan
sisa-sisa pendidikan feodal yang sangat kental dengan dogma-dogma irasionalnya.
Akhirnya tatatan monarki absolute pun hancur dengan mengambil alih peran-peran
pendidikan dan gerakan-gerakan massa menentang penguasa doktator-otokrasi dan
ini ditandai dengan lahirnya revolusi Prancis yang dipelopori oleh kaum
kapitalis.Akan tetapi ada satu warisan feodal yang tetap dipertahankan oleh
tatanan kapitalisme, yaitu kaum borjuasi kapitalis (pemilik modal)tetap mengklaim kepemilikan pribadi atas faktor-faktor
produksi yang meliputi alat dan tenaga-tenaga produksi.Seiring dengan
terjadinya perubahan corak/hubungan produksi kapitalis di mana para pemilik
modal dalam mengelola perusahaannya meniscayakan praktek-praktek eksploitasi
buruh (proletariat) agar mendapatkan
keuntungan yang besar. Sehingga system produksi ini mengharuskan mereka memaksa
institusi-institusi pendidikan mereduksi ideologinya menjadi developmentalisme
yang hanya beroirentasi profit dan selalu menguntungkan pihak pemilik modal
yang sejatinya pendidikan adalah sebagai alat untuk mamanusiakan manusia (Paulo Freire).
“Pendidikan adalah alat perlawanan, di
mana ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta didik mesti dijadikan sebagai
senjata bagi transformasi social menuju tatanan masyarakat yang sejahtera dan
berkeadilan”
(Karl Marx)
“Jika kita bertanya kepada para
mahasiswa hari ini, “ apa tujuan anda kuliah? ” maka sontak sebahagian besar
dari mereka akan menjawab “ kami kuliah agar dengannya kami dapat dengan mudah
memperoleh pekerjaan.“
(
Pramoedya Ananta Toer )
Dewasa
ini pendidikan kita telah dibuat terperanjat dengan lahirnya sebuah regulasi
baru titipan asing bernama Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang hakikinya
akan meligitimasi praktek-praktek komersialisasi pendidikan. UU BHP berusaha
menyulap pendidikan di negeri ini layaknya perusahaan.Segala sesuatu yang
berkaitan dengan urusan akademik dan non akademik dipaksakan untuk mengikuti
logika/kehendak pasar.Akibatnya sudah dapat dipastikan bahwa pendidikan tidak
lagi menjadi alat perlawanan, melainkan hanya dapat mencetak generasi muda yang
melanggengkan budaya-budaya kapitalistik (apatis,
hedonis dan konsumeris) yang tidak pernah risau dan berenpati terhadap
segala problem-problem social yang terjadi disekitarnya. Selain dari pada itu
wajah pendidikan dalam cekraman Kapitalisme-Neoliberalisme melalui penerapan UU
BHP akan keluar dari esensinya karena kesan eksklusif dan elitisnya. Sehingga
tiada kata yang pantas terlontar dari lisan kita kecuali “Lawan” segala bentuk
komersialisasi pendidikan, sebab menurut Jan Komensky pendidikan yang ideal
adalah pendidikan yang merepkan prinsip long
life education dan education for
every one yang terejawantahkandalam bentuk praktik pendidikan yang
senantiasa mengedepankan nilai-nilai demokratis, ilmiah dan pelayanan
pendidikan gratis bagi seluruh anak negeri.
Salam Intelektual !!!